Tuesday, November 10, 2015

Tragedi Common Sense

Takdir ilmu, seringkali yang keras menolaknya justru yang paling memerlukannya. Misalnya mereka yang menolak perlunya belajar filsafat, justru ketika membuat pernyataan, definisi, premis, asumsi, metode, konteks, keaktualan, logika, bukti, kesimpulan, semuanya keropos dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. 

Filsafat, minimal logika perlu untuk menjernihkan yang tidak jelas di pikiran, yang sayangnya mereka yang kepagian menolak untuk belajar mengenai hal ikhwal berpikir itu, suka sekali mengucapkan hal-hal yang sejak di pikiran tidak jelas dan runtut. Pelajaran pertama dari belajar filsafat adalah semacam kerendah-hatian: yang belum jelas ketika di pikiran, jangan diucapkan (apalagi diperjuangkan dalam perdebatan).

Misal lain, mereka yang menolak ilmu fiqh dan ushul fiqh, menganggapnya tidak terlalu perlu. Memang benar tidak perlu kalau kita tidak ingin mengucapkan sesuatu yang terkait hal ikhwal penghukuman sesuatu, sayangnya mereka justru ribut sekali berbicara tentang itu. Bahkan ada yang berlebihan menganggap ilmu fiqh itu hanya dipakai pemiliknya untuk mengakali kebenaran yang dibawa dalil (teks). Namun ketika membuat kesimpulan fiqh yang katanya mengikuti dan setia pada dalil, sejatinya itu adalah kesimpulan akalnya pada dalil, sementara akalnya tidak dididik dengan ilmu fiqh yang benar, maka yang diniatkan setia pada teks justru telah berkhianat pada teks itu sendiri. Meskipun kesalahannya ini tidak disengaja, kebutaannya pada pentingnya ilmu yang penting telah disengaja dan dengan demikian sulit dimaafkan, belum lagi berbicara dampak kerusakannya.

Berapa banyak kelas menengah kita yang suka riuh berbicara politik, atau ekonomi, atau agama dan lain-lain cuma berbekal "common sense"? Uniknya ada tipe mereka yang mengira bisa bicara tentang agama tanpa harus bersusah payah mempelajarinya seringkali merasa lebih tercerahkan daripada mereka yang dibekali ilmu agama dengan lebih baik, yang dikesankan dan dikutip dengan cara yang menggambarkan mereka seperti manusia dari jaman onta purbakala. 

Tragedi keawaman adalah merasa bisa menyimpulkan sesuatu hanya dengan bekal common sense belaka. Di Indonesia, sebetulnya bahkan common sense sering tidak sama dengan akal sehat, yang lama tidak kita latih. Common sense yang ada saat ini cuma klise, semacam jargon-jargon menarik tapi kosong yang digandrungi kebanyakan orang banyak.

Sumber fb Priyo Jatmiko

0 comments:

Post a Comment