Friday, November 20, 2015

Kisah Taubat Seorang Pemuda

Malik bin Dinar bercerita:
كان لي جار يتعاطى الفواحش فأتى إلي الجيران يشكون منه فأحضرناه وقلنا له: إن الجيران يشكونك فسبيلك أن تخرج من المحلة فقال: أنا في منزلي لا أخرج قلنا: تبيع دارك! قال: لا أبيع ملكي قلنا: نشكوك إلى السلطان قال: أنا من أعوانه قلنا: ندعو الله عليك قال: الله أرحم بي منكم.
قال: فلما أمسينا قمت وصليت ودعوت عليه فهتف بي هاتف: لا تدع عليه فإنه من أولياء الله تعالى.
فجئت إلى باب داره ودققت الباب فخرج فظن أني جئت لأخرجه من المحلة فتكلم كالمعتذر.
فقلت: ما جئت لهذا ولكن رأيت كذا وكذا فوقع عليه البكاء وقال: إني تبت بعد ما كان هذا ثم خرج من البلد فلم أره بعد ذلك.
واتفق أني خرجت إلى الحج فرأيت في المسجد الحرام حلقة فتقدمت إليهم فرأيته مطروحا عليلا فلم ألبث أن قالوا مات الشاب رحمه الله.

Dulu saya punya tetangga seorang pemuda yang gemar bermaksiat dan melakukan perbuatan kotor. Lalu para tetangganya mendatangi saya dan mengadukan perilaku pemuda tersebut.

Kami panggil pemuda itu dan kami sampaikan, "Para tetanggamu mengadukanmu. Solusinya kamu harus pindah dari tempat ini."

Pemuda itu menjawab, "Saya di rumah saya sendiri. Saya tidak mau pindah."

Kami bertanya, "Apakah kamu bersedia menjual rumahmu?"

"Saya tidak mau menjual barang milik saya." Jawabnya.

"Kalau begitu kami akan melaporkanmu kepada pihak berwajib."

"Saya termasuk pegawai yang berwajib." Jawabnya.

"Kalau begitu kami akan berdoa kepada Allah supaya anda celaka." Ancam kami.

Dia menjawab, "Justru Dia lebih kasihan kepadaku daripada kasih kalian."

Ketika sore hari, saya berdiri shalat dan hampir mendoakan celaka untuknya. Tiba-tiba terdengar suara, "Jangan doakan celaka. Dia termasuk wali yang dicintai Allah."

Saya langsung bergegas mendatangi pintu rumahnya dan mengetuknya. Dia keluar dan mengira bahwa saya akan mengusirnya seperti waktu lalu.

Dia meminta maaf. Saya jawab, "Saya datang ke sini bukan untuk mengusirmu. Tapi baru saja saya melihat kejadian yang cukup aneh." Lalu saya ceritakan kejadian yang saya alami tadi.

Dia menangis lalu mengatakan, "Sungguh saya telah bertaubat setelah waktu itu."
Akhirnya pemuda itu pergi meninggalkan kampungnya. Saya pun tidak pernah lagi melihatnya setelah itu.

Hingga akhirnya pada suatu musim haji. Saat pergi haji, saya melihat di Masjidil Haram orang-orang berkerumun. Ternyata mereka mengelilingi pemuda tersebut. Saya melihatnya dalam keadaan tergeletak memprihatinkan. Tidak lama setelah itu orang-orang mengatakan bahwa pemuda itu telah meninggal dunia. Semoga Allah merahmatinya.

Pelajaran:

  1. Nasib setiap orang ditentukan pada akhir hayatnya. Jika akhirnya baik, ia akan beruntung. Begitu sebaliknya.
  2. Kita tidak boleh memvonis orang lain dengan surga atau neraka selama ia masih hidup.
  3. Pentingnya mengingatkan dan menasehati saudara kita yang bergelimang maksiat.


Sumber: "Kitab At Tawabin" (Kisah Orang-orang yang Bertaubat) karya Imam Ibnu Qudamah Al Maqdisiy. Diterjemah oleh: Abul Faruq Danang Kuncoro W (semoga Allah mengampuninya).

Wednesday, November 18, 2015

Keturunan Itu Sebuah Kehormatan Bagi Sang Orang Tua

Keturunan itu sebuah kehormatan bagi sang orang tua. Di negara manapun, budaya apapun, semua sama dalam memandang keturunan, ia merupakan sebuah kehormatan dan juga sekaligus kebanggaan. Dan semua orang tua pasti senang jika memiliki keturunan; buah hati belahan jantung penerus cerita pelanjut sejarah. Banyak yang kecewa jika mendapati pasangan atau anaknya tidak punya keturunan, walaupun tidak sedikit yang mampu bersabar.

Syariat mengamini tabiat manusia yang satu ini, bahwa dalam keluarga, anak keturunan adalah sebuah kehormatan yang sangat dibanggakan. Maka dalam 5 prinsip maqashid syariah (al-kubro), Menjaga keturunan (Hifdzu al-Nasl) masuk di antara 5 itu, yang beberapa ulama menulisnya dengan redaksi Hifdzu al-'Irdh (menjaga kehormatan). Bahkan beberapa ada yang memisahkannya yang akhirnya membuat maqhsid syariah berjumlah 6.

Karenanya wajar jika banyak orang memanggil orang lain dengan nama keturunannya, sebagai bentuk penghormatan kepada yang bersangkutan. Dan penghormatan seperti itu ada di setiap negara, termasuk juga di negeri Nabi Muhammad s.a.w., dan bahkan sebelum beliau s.a.w. diangkat menjadi Rasul, budaya itu sudah ada. Biasa dengan sebutan "abu" lalu disandingkan dengan nama anaknya, atau "ummu" bagi wanita.

Di Indonesia pun ada penghormatan seperti itu. Kita dalam bertetangga sering mendapati itu, bahwa banyak tetangga kita yang memanggil tetangga lain dengan panggilan "Papa Raihan"; karena si orang tersebut punya anak namanya Raihan, ibunya pun dipanggil dengan sebutan " Mama Raihan". Penghormatan seperti ini yang akhirnya membuat hubungan bertetangga menjadi hangat dan erat.

Yang namanya Penghormatan itu biasanya memang berbeda dari negara ke negara lain, dari budaya ke budaya lain. Di satu budaya, suatu bahasa bisa disebut kasar, akan tetapi di budaya lain berbeda. Panggilan dengan nama tertentu bisa membuat orang semakin akrab dan hangat, tapi bisa saja berbuah sebaliknya di daerah berbeda. Maksudnya jangan sampai tujuan penghormatan yang mulia itu berbuah renggangnya ukhuwah.

Karenanya, selama tidak melanggar syariah, ikuti budaya di mana kita tinggal agar ukhuwah terjaga. Toh Nabi s.a.w. pun dulu memakai pakaian yang sama dengan budaya yang ada. Tidak memilih berbeda. Tapi yang kita dapati bahwa Nabi s.a.w. punya akhlak mulia yang jauh berbeda dari manusia-manusia yang ada.

-wallahu a'lam-

sumber status fb Ahmad Zarkasih

Tuesday, November 10, 2015

Pujian Imam Ahmad bin Hanbal Kepada Imam Syafi'i

Muhammad bin Al Bazzaz mengatakan: Saya pernah mendengar ayah saya bercerita:

Saya pernah pergi haji bersama Ahmad bin Hanbal. Ketika di Makkah, kami tinggal di satu tempat, yaitu di sebuah rumah.

Suatu hari, Ahmad bin Hanbal keluar rumah lebih awal. Saya pun keluar setelahnya. Usai shalat shubuh, saya mengelilingi masjid hingga sampai pada majelis pengajian Sufyan bin Uyainah.

Saya kelilingi majelis demi majelis untuk mencari Ahmad bin Hanbal. Hingga akhirnya saya mendapatinya sedang bersama seorang pemuda Arab dengan pakaiannya yang berwarna.

Saya mendekati mereka dan duduk di dekat Ahmad bin Hanbal lalu saya bertanya, "Wahai Abu Abdillah, mengapa kamu tinggalkan majelis pengajian Sufyan bin Uyainah padahal di sana ada Az Zuhri, Amr bin Dinar, Ziyad bin Alaqah dan para tabiin lainnya?"

Ahmad bin Hanbal menjawab:
اسكت فإن فاتك حديث يعلو تجده بنزول لا يضرك في دينك ولا في عقلك أو في فهمك وإن فاتك عقل هذا الفتى أخاف أن لا تجده إلى يوم القيامة ما رأيت أحدا أفقه في كتاب الله من هذا الفتى القرشي 

"Hus, diam kamu. Kalau kamu terlewat suatu hadits dengan sanad yang tinggi, kamu masih bisa mendapatkan hadits yang sama dengan sanad yang rendah. Dan itu tidak membahayakanmu sama sekali, baik bagi agama maupun pemahamanmu. Tapi kalau kamu terlewat pemahaman pemuda ini, aku khawatir kamu tidak bisa mendapatkannya lagi sampai hari kiamat. Aku belum pernah melihat orang yang lebih paham tentang Al-Quran daripada pemuda dari Quraisy ini."

Saya bertanya, "Siapa orang ini?" Ahmad menjawab, "Dia adalah Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i."

Sumber: Tarikh Dimasyq karya Ibnu Asakir.
Diterjemahkan oleh Abul Faruq Danang Kuncoro W (semoga Allah mengampuninya)

Lalan dan Rumput Sama-sama Suka Ikut-Ikutan

Hukum kauni: Lalat mudah digiring. Anda cukup bawa kotoran Anda yang tentu tidak wangi ke manapun, maka lalat-lalat akan ikut Anda. Jika lalat tidak ikut kontribusi mengunyah kotoran Anda, minimal lalat itu menaruh tanda titik lah. Anda mungkin bukan lalatnya, dan tentu Anda tidak mau disebut lalat. Tapi status Anda ya cuma penggiring lalat.

Hukum kauni: Rumput itu ikut arah angin. Angin ke utara, rumput ke sana. Angin ke selatan, rumput ke sana. Ada isu begini, rumput ya ikut. Ada isu begitu, rumput ya ikut. Kadang rumput merasa pahlawan dan rutin komentar. Ini mungkin mirip sama rumput ilalang.

Lalat dan rumput sama-sama suka ikut-ikutan. Tapi yang lebih jelek dari keduanya adalah yang menggiring atau memancing menuju kotoran, atau menghembuskan menuju arah ga jelas dengan aroma busuk.

Sumber fb Hasan Al-Jaizy

Filsafat Bagi Aktivis Dakwah, Perlukah?

Jawabannya bisa iya, bisa tidak. Mungkin juga agak tergantung definisi dan konsepsi, kriteria dan model, niat dan implikasi, peranan dan tanggungjawab. Tapi narasi di bawah ini mencoba meloncat tanpa mendefinisikan terlebih dahulu. Kenapa? Karena banyak di antara kita yang juga cepat mengajukan jawaban atas pertanyaan di atas tanpa melakukan pendefinisian dan pengkonsepsian dulu wink emoticon

Pertanyaannya memang bukan "wajibkah?" tapi "perlukah?" 

Anggap saja filsafat itu tidak wajib, tapi dia bisa membantu kita untuk menutupi lubang yang ada jika kita hanya membekali diri dengan ilmu2 alat islami, misalnya sebut saja yang tertinggi, ushul fiqh - yang sering kita anggap sebagai puncaknya ilmu pemikiran islami, yang kita banggakan sebagai bukti bahwa islam juga punya "ilmu pemikiran" - menghindari ungkapan ushul fiqh itu 'philosophy of law'-nya tradisi / ilmu islam (yang ditolak karena jauh-jauh hari sudah memutuskan bahwa "filsafat bukan hanya tidak islami tapi juga anti islam"). Apalagi kalau banyak polah tapi kurang bekal ilmu dasar!

Gap dari dunia fiqh kita di jaman ini sederhana saja: GAGAL SEJAK DARI TAHAP BERTANYA, yang berakibat betulnya jawaban pun adalah jawaban yang salah, karena betulnya jawaban atas pertanyaan yang salah tetap berujung pada kesalahan. Hal ini terasa terutama di level-level besar ketika menghubungkan referensi masa lalu dengan masa kini: politik, ekonomi, pendidikan, budaya, sains, literasi dst.

Ibaratnya, dalam ilmu proses kimia, salah memasukkan "raw material" yg benar dengan "kuantita" yang benar, akan gagal mendapatkan produk yang benar, meskipun "engineer"-nya sangat ahli dalam berbagai tools ilmu proses kimia, walaupun kita sangat membanggakan "pabrik/kilang kimia" yang kita punya sangat canggih dan melebihi "pabrik/kilang" milik "orang lain".

Filsafat itu memang ilmu tentang tanya, bukan ilmu tentang jawab. Memang itulah kekecewaan orang yang mengira belajar filsafat itu untuk mendapatkan jawaban yang benar, apalagi kalau orang itu berlatar belakang "ilmu pasti" yang dia kira ilmu itu "harusnya pasti-pasti saja", padahal yang dikatakan "ilmu pasti" itu juga sebetulnya tidak "pasti-pasti amat" dan memang tidak harus pasti untuk menjadi sebuah ilmu. Tapi itulah repotnya dengan pengajaran sainstek di dunia ketiga yang terlepas dari bangunan epistemologinya, yang berhenti pada aspek prosedural dan imitasi ilmu, abai pada aspek enquiry dan sintesis ilmu.

Bukankah mengira bisa terbebas dari "kesesatan filsafat" dengan mengabaikan penguasaan mendasar atasnya, tak beda dengan mereka yang inkar hadits karena alasan banyak hadits palsu, bukankah menghindari filsafat sehingga bisa terbebas dari keberagaman pendapat di dunia filsafat tak beda dengan menghindari belajar fiqh dan langsung menyimpulkan dari pembacaan atas teks sendiri karena banyaknya ragam pendapat di dunia fiqh? Bagaimana mungkin solusi dari kesesatan berpikir adalah dengan menghindari ilmu tentang berpikir?

Kalaulah kita mengandaikan jawaban atas pertanyaan "Perlukah aktivis muslim belajar filsafat" adalah "tidak perlu" (dan banyak yang mengajukan jawaban bukan hanya tidak perlu tapi juga tidak boleh alias haram jadah)....

...maka jawaban "tidak perlu" itu hanya "bisa/logis" kalau kita mengandaikan bahwa: [segala hal ikhwal tentang berpikir secara
  1. substantif, 
  2. mendalam, 
  3. menyeluruh 
  4. reflektif dan 
  5. runtut itu] 
sudah
  1. ada, embedded (terkandung) di dalam ilmu ushul fiqh - tradisi islami, 
  2. mendarah daging mentalitasnya dan dipraktikkan sebagai etika profesional di kalangan mereka yang berislam dengan penuh gairah itu, meskipun mereka tidak mempelajari tradisi filsafat dahulu (bukti ini pun harus menganggap terlebih dahulu bahwa praktek ilmu ushuluddin bercorak kalam yang ada di warisan ulama-ulama terdahulu sebagai tidak islami atau kurang "nyunni", tidak otentik, tidak representatif dan dengan demikian adalah bagian yang harus dipurifikasi!) 

Apakah kedua preposisi itu terpenuhi sehingga kita bisa memberi jawaban "tidak perlu"? 

Saya pribadi - yang merasa sebagai bagian dari tradisi ilmu-ilmu islami, tumbuh dan besar di dalamnya, berhutang budi padanya, berikrar komitmen untuk memperjuangkannya, sangat mencintai dan menghormati orang-orangnya- ....

... jujur saja saya tetap tidak bisa lari dari kesimpulan pengamatan: bahwa mentalitas itu agak kurang. Sebagian dari kita dalam jumlah yang signifikan dan representatif, setidaknya yang dinilai oleh "orang lain", terutama kita yang aktif di sosial media, justru menunjukkan mentalitas yang bukan hanya tidak kondusif untuk melatih bertanya dan berpikir secara reflektif dan mendalam, tapi juga kontra produktif untuk dakwahnya sendiri:
  • sering ribut dan jarang merenung, 
  • suka menuding keluar bukan menilik ke dalam, 
  • terlalu cepat menjawab, terlalu malas bertanya, 
  • gemar pada jargon, miskin substansi 
  • berlebihan cakap sedikit mendengar, 
  • banyak ceramah sedikit membaca, 
  • mudah curiga, sulit dialog 
  • buru-buru menilai padahal gagal meyakinkan 
  • banyak menuntut, kurang memberi. 
Mengutip kembali status saya sebelumnya, takdir ilmu itu adalah, seringkali yang paling menolak suatu ilmu ternyata adalah mereka yang justru paling memerlukannya. Kita tidak punya ilmu tentang tanya, padahal ilmu untuk mengajukan pertanyaan yang benar itu perlu, banget-banget, kalau ingin bisa mewujudkan "al islam huwal haal" atau "islam rahmatan lil 'alamin".

Sumber fb Heru Jatmiko

Tragedi Common Sense

Takdir ilmu, seringkali yang keras menolaknya justru yang paling memerlukannya. Misalnya mereka yang menolak perlunya belajar filsafat, justru ketika membuat pernyataan, definisi, premis, asumsi, metode, konteks, keaktualan, logika, bukti, kesimpulan, semuanya keropos dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. 

Filsafat, minimal logika perlu untuk menjernihkan yang tidak jelas di pikiran, yang sayangnya mereka yang kepagian menolak untuk belajar mengenai hal ikhwal berpikir itu, suka sekali mengucapkan hal-hal yang sejak di pikiran tidak jelas dan runtut. Pelajaran pertama dari belajar filsafat adalah semacam kerendah-hatian: yang belum jelas ketika di pikiran, jangan diucapkan (apalagi diperjuangkan dalam perdebatan).

Misal lain, mereka yang menolak ilmu fiqh dan ushul fiqh, menganggapnya tidak terlalu perlu. Memang benar tidak perlu kalau kita tidak ingin mengucapkan sesuatu yang terkait hal ikhwal penghukuman sesuatu, sayangnya mereka justru ribut sekali berbicara tentang itu. Bahkan ada yang berlebihan menganggap ilmu fiqh itu hanya dipakai pemiliknya untuk mengakali kebenaran yang dibawa dalil (teks). Namun ketika membuat kesimpulan fiqh yang katanya mengikuti dan setia pada dalil, sejatinya itu adalah kesimpulan akalnya pada dalil, sementara akalnya tidak dididik dengan ilmu fiqh yang benar, maka yang diniatkan setia pada teks justru telah berkhianat pada teks itu sendiri. Meskipun kesalahannya ini tidak disengaja, kebutaannya pada pentingnya ilmu yang penting telah disengaja dan dengan demikian sulit dimaafkan, belum lagi berbicara dampak kerusakannya.

Berapa banyak kelas menengah kita yang suka riuh berbicara politik, atau ekonomi, atau agama dan lain-lain cuma berbekal "common sense"? Uniknya ada tipe mereka yang mengira bisa bicara tentang agama tanpa harus bersusah payah mempelajarinya seringkali merasa lebih tercerahkan daripada mereka yang dibekali ilmu agama dengan lebih baik, yang dikesankan dan dikutip dengan cara yang menggambarkan mereka seperti manusia dari jaman onta purbakala. 

Tragedi keawaman adalah merasa bisa menyimpulkan sesuatu hanya dengan bekal common sense belaka. Di Indonesia, sebetulnya bahkan common sense sering tidak sama dengan akal sehat, yang lama tidak kita latih. Common sense yang ada saat ini cuma klise, semacam jargon-jargon menarik tapi kosong yang digandrungi kebanyakan orang banyak.

Sumber fb Priyo Jatmiko

Friday, November 6, 2015

Bid'ah Itu Memerlukan Status Hukum


Dalam bab hukum, dalam banyak kitab Ushul Fikih, para ulama merincikan bahwa hukum taklif Itu ada lima: wajib, mandub, muharram, makruh dan mubah.

Dan istilah bid'ah ternyata tidak termasuk dalam hukum yang lima. Sehingga menurut banyak ulama klasik maupun kontemporer bid'ah itu memerlukan status hukum.

Karenanya tidak heran jika banyak juga para ulama yang membagi bid'ah itu kedalam hukum yang lima itu, tergantung bid'ah itu bentuknya seperti apa.

Ada bid'ah yang wajib, ada yang mandub, ada yang haram, ada juga yang makruh, dan ada juga yang mubah.

Pandangan ini dinilai oleh sebagian lebih komprehensif, sehingga kita tidak terjebak kepada sikap buru2 menilai 'tidak baik' sesuatu yang baru, yang tidak ada di zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.

Namun demi kehati-hatian atau bahkan sangat hati-hati, sehingga tidak heran banyak juga para ulama yang menilai bahwa semua bid' ah adalah mutlak haram.

Yang jelas, tidak serta-merta dg adanya pembagian bid'ah laju kemudian semuanya serba boleh. Dan tentunya tidak juga semua yang tidak ada di zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam lantas hukumnya haram.

Semua butuh analisis yang mendalam oleh mereka yang memang dalam ilmunya.

Allahumma sholli Muhammad wa ala ali Muhammad.




sumber fb @SaiyidMahadhir -